Nama : Kiki Rizky Laila
Winarto
Nim : 1001132364
Mata
Kuliah : Pemikiran Politik
Timur
Kelas : B
I.
Pendahluan
Kata ‘Hindu’ semula diberikan oleh orang Persia terhadap
wilayah di lembah sungai shindu. Kedatangan orang Yunani berikutnya, menyebut
Hindu dengan Indoi, dan oarang-orang Barat mengatakan India. Penduduk setempat
menyebut keyakinan mereka sanatana Dharma, yang berarti dharma yang
kekal, abadi, tanpa awal dan akhir (anadi ananta).
Seperti
yang telah dibahas sebelumnya dalam Hinduisme terdapat ajaran Catur Warna yang
merupakan pembagian tugas dalam masyarakat yang terdiri dari empat bidang yaitu
Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra yang dalam pelaksanaannya Catur Warna ini
diimplementasikan sebagai Kasta dimana pengaruh dari
adanya pengkastaan ini menyebabkan masyarakat terbelah menjadi dua, antara
kelompok yang menindas
yaitu yang diwakili oleh raja-raja dan antek-anteknya, dan
kelompok yang ditindas
yang merupakan rakyat jelata.
Namun
dalam ajaran Hindu yang sebenarnya Catur Warna ini sejatinya adalah empat warna
atau fungsi yang melekat pada diri seseorang dan mesti menjalankan keempatnya
dengan sebaik-baiknya. Jadi, pengkastaan merupakan pemngimplementasian yang
salah.
II.
Isi
Siwa atau
Kekuasaan merupakan dewa paling kuat dari panteon Hindu dan salah satu
ketuhanan-ketuhanan dalam Trinitas Hindu. Siwa ini dikenal dengan banyak nama antara
lain Mahadewa, Mahayogi, Pashupati, Nataraja, Bhairava, Vishwanath, Bhava, dan Bhole
Nath. Dewa Siwa dikenal sebagai dewa yang paling kompleks serta paling menarik
diantara dewa-dewa Hindu lainnya. Hindu menyadari hal ini dengan menempatkan
kuil bagi Dewa Siwa di kuil terpisah dari orang-orang dan dewa-dewa lainnya.
Konsep Kekuasaan
Di Indonesia, sebelum masuknya Hinduisme, belum mengenal konsep pengkastaan. Jika demikian, lalu mengapa konsep
pengkastaan ini bisa diterima oleh masyarakat Indonesia ketika itu? Sesuatu hal
yang baru, yang berusaha masuk untuk menggantikan posisi dari sesuatu yang
lama, tentunya tidak akan langsung diterima begitu saja. Pada waktu itu, sistem
baru tersebut berusaha dimasukkan ke dalam masyarakat lewat jalan pemaksaan.
Pertentangan antara sistem lama (dengan
prinsipnya bahwa setiap orang untuk setiap orang dan masyarakatnya) tentunya berbenturan dengan sistem baru (yang menempatkan setiap orang dalam kotak-kotak tertentu
dalam masyarakat berdasarkan derajatnya; pengkastaan) akhirnya berpuncak pada peperangan yang
dimenangkan oleh sistem baru tersebut sebab sistem Hindu adalah sebuah agama yang sudah mapan. Akibatnya, sistem lama
yang mengalami kekalahan kemudian menyingkir ke pedalaman.
Kemenangan sistem baru inilah
yang kemudian menandai dimulainya babak baru dalam sejarah masyarakat
Indonesia, di mana orang melakukan kerja bukan untuk kepentingan dirinya
sendiri, tetapi untuk diserahkan pada kelas yang berkuasa: raja. Sementara,
rakyat diwajibkan patuh kepada raja, karena raja adalah wakil Tuhan di muka
bumi.
Rakyat dipaksa harus mengarahkan kesetiaannya kepada lapisan atas, tidak
lagi kepada keselamatan masyarakat seperti pada sistem-sosial terdahulu.
Lapisan atas hidup mewah di atas punggung rakyat yang semakin lama semakin
kurus oleh penindasan dan pemerasan. Yang baik dan yang banyak diperuntukkan
buat sang raja. Kedua lapisan ini berbeda sebagai bumi dan langit. Ada sekelompok orang yang dirantai oleh penindasan,
sementara ada sekelompok kecil lain yang menikmati hasil dari penindasan.
a.
Masa Hindu-Siwa Kalah Pengaruh dengan
Hindu-Wisnu
Terjadi
perubahan radikal dalam konsep ontologi. Pada masa ini, muncul konsep manusia
yang dijadikan dewa.
Sebetulnya,
konsep ini untuk menguatkan legitimasi raja pada rakyatnya. Sepertinya,
feodalisme yang berkembang di Eropa, bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia,
juga berkembang di Indonesia. Jadi Raja sangat memegang kuasa atas rakyatnya. Di sinilah agama Hindu digunakan untuk menaikkan gengsi
para penguasa di hadapan rakyatnya. Sampai saat ini, konsep tersebut rupanya
masih dipakai.
b.
Masa Erlangga
Berkuasa
Ketika
Erlangga mulai berkuasa, agama Hindu juga mengalami perubahan. Kasta Wai’sya
(kasta pedagang) dihilangkan. Pada masa ini, kaum pedagang dianggap sebagai
kasta yang rendah sehingga dihilangkan dari Catur Warna, dan yang diakui hanya Triwangsa. Penghilangan kasta Wai’sya
inilah yang menyebabkan agama Hindu di Indonesia tidak bisa berperan seperti
halnya agama Hindu di India, yang bisa memacu perkembangan tenaga produktif.
Hinduisme di
Indoensia tidak berhasil menghasilkan golongan menengah yang kuat. Sedangkan di
India, Hinduisme telah memacu tumbuhnya kasta pedagang yang mampu melakukan
perdagangan-perdagangan internasional.
Di dunia Timur tepatnya di India,
dalam arthasastra yang ditulis kira-kira 321-300 SM oleh Kautilya, Perdana
Menteri kerajaan Chandragupta Maurya juga telah mengemukakan pemikirannya
tentang negara. Dalam bukunya itu, ia membentangkan teori tentang “ikan besar memakan
ikan kecil” (fish law).
Teori yang dikemukakan Kautilya
ini dapat mewakili pemikiran Hindu tentang negara. Berdasarkan teori yang
dikemukakan Kautilya, dapat dipahami bahwa alasan adanya negara adalah untuk
melindungi kelompok yang lemah dari ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara
diperlukan untuk mencegah terjadinya hukum rimba, dimana kelompok yang kuat
menindas kelompok yang lemah. Dalam konteks ini pemikiran Hindu tentang negara
bersifat “struktur-fungsional”. Artinya, eksistensi negara harus mampu
memberikan perlindungan atas seluruh kehidupan sosial (ekonomi, politik, budaya
dll) warga negaranya, terlepas dari latar belakang masyarakat yang ikut
bergabung ke dalam negara tersebut.
III.
Simpulan
Dari
penjelasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya ajaran hindu
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam suatu negara, dalam hal ini
pemerintahan. Tentu saja maksudnya adalah negara yang mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Hal ini sangat berhubungan dengan ajaran Catur Warna yang
selama ini diimplementasikan sebagai Kasta tidak perduli walaupun pengkastaan
bukanlah merupakan makna yang sesungguhnya dari Catur Warna. Sehingga kasta
yang tinggi berkuasa atas kasta rendahan.
Raja
sangat memegang kekuasaan atas rakyat. Rakyat diwajibkan untuk patuh pada
apapun perintah Raja karena Raja merupakan wakil Tuhan di bumi. Ini berakibat
pemaksaan pada rakyat untuk bekerja tidak lagi untuk kepentingan diri sendiri
melainkan untuk kepentingan para penguasa. Jadi disini penguasa ialah merupakan
pihak penindas, dan rakyat jelata memegang peran sebagai pihak yang tertindas.
No comments:
Post a Comment