LOVE . LIVE . LAUGH

Friday, July 13, 2012

SISTEM NEGARA ISLAM

I.                   Pendahuluan
Asas negara Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah Saw. telah membangun kekuasaan berdasarkan asas tersebut. Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satunya thariqah (metode) yang dijadikan oleh Islam untuk menerapkan sistem dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan dan masyarakat. Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.
Dalam struktur negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi pemahaman Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya dengan demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik. Karena semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam.
II.                Isi
II.1. Kedudukan Ulil Amri
Dalam  Islam arti ulil amri atau pemerintah itu banyak tafsirannya. Diantaranya adalah:
a.       Ulil amri diartikan dengan para ulama yang amilin, ulama yang kewibawaannya dihormati orang banyak.
b.      Ulil amri yang diartikan dengan ahlul halli wal 'aqdi.
c.       Ulil amri yang diartikan dengan orang-orang yang berkuasa didalam sebuah negeri atau sebuah negara.
d.      Ulil amri yang dimaksudkan dengan pemimpin-pemimpin jemaah Islam, dan lain-lain.
Ulil amri (pemimpin/penguasa) memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka menempati martabat yang luhur dan mulia. Syariat menganugerahi mereka berkaitan dengan kekuasaan dan tugas mereka yang memiliki keluhuran seperti yang tertulis dalam surat An-Nisa (4) : 59 ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul.
Selain, tentunya terkait tanggung jawabnya yang demikian besar. Karenanya, mereka diberi gelar kedudukan dalam keimamahan yang menggantikan nubuwah dalam menjaga agama dan politik dalam urusan dunia.Sesungguhnya, seseorang tidak akan mampu mengendalikan kekuasaan kecuali dengan kekuatan dan keteguhan kepemimpinan. Jika syariat tidak memberikan padanya apa yang terkait tabiat amal, yaitu individu yang menghormati dan mengagungkannya, sungguh akan menjadi batu ujian bagi manusia. Apalagi jika mereka tidak mampu mengendalikannya. Akibatnya akan timbul bencana dan kekacauan di masyarakat umum, lenyaplah berbagai kemaslahatan, timbulnya kerusakan dunia dan telantarnya kehidupan beragama. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait mulianya kedudukan penguasa, di antaranya: 
·         Syariat mengabarkan bahwa barangsiapa memuliakan penguasa, Allah Subhaanahu wata’aala, akan memuliakannya. Barangsiapa menghinakan/merendahkan penguasa, Allah Subhaanahu wata’aala akan merendahkan/menghinakannya. Maknanya, sesungguhnya siapa saja yang lancang terhadap penguasa maka dia telah menghinakan penguasa, dalam bentuk perbuatan atau perkataan (pernyataan). Dia telah melampaui hukum-hukum Allah Subhaanahu wata’aala, melanggar larangan-larangan yang jelek. Dia akan mendapatkan sanksi atas segala perbuatannya tersebut. Allah Subhaanahu wata’aala, akan membalas kehinaan dengan kehinaan. Bahkan, kehinaan yang Allah Subhaanahu wata’aala timpakan lebih besar dan lebih keras. Pada sebagian lafadz dari hadits Abu Bakrah z disebutkan:  “Barangsiapa memuliakan penguasa Allah, Allah akan memuliakannya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/492)
·         Sesungguhnya penguasa adalah zhillullah (naungan Allah Subhaanahu wata’aala) di muka bumi. Hadits yang meriwayatkan tentang hal ini banyak dan diriwayatkan dari banyak perawi pula. Yang paling shahih adalah yang diriwayatkan Abu Bakrah radiallohu anhu dan lafadz tersebut sebagaimana dalam As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim rahimahulloh: “Penguasa itu naungan Allah Subhaanahu wata’aala di muka bumi. Barangsiapa memuliakannya, Allah Subhaanahu wata’aala pun memuliakannya. Barangsiapa menghinakannya, Allah l akan menghinakannya pula.” Pernyataan  ‘penguasa itu naungan Allah Subhaanahu wata’aala’ mengandung pengertian bahwa dengannya Allah Subhaanahu wata’aala akan melindungi manusia dari gangguan, sebagaimana naungan adalah pelindung dari gangguan terik matahari. Penyandaran kepada Allah Subhaanahu wata’aala pada kata zhillullah atau pada sebagian lafadz dengan menyebutkan sulthanullah), merupakan bentuk maklumat kepada manusia bahwasanya naungan tersebut tidaklah seperti seluruh naungan yang lain. Itu menunjukkan ketinggian dan kemuliaan naungan tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa naungan tersebut memiliki faedah dan manfaat yang besar. Penyandaran (idhafah) kepada Allah Subhaanahu wata’aala sesungguhnya menunjukkan idhafah tasyrif (penyandaran pemuliaan) sebagaimana pada kata Baitullah, Ka’batullah atau yang lainnya. Ini mengandung isyarat akan ketinggian kedudukan penguasa dan kemuliaan keberadaannya.
·         Syariat melarang seseorang mencela penguasa dan mencegahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut. Anas bin Malik radiallohu anhu berkata: “Kalangan tua dari para sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, melarang kami (mencela penguasa). Mereka berkata, ‘Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat dekat’.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, 2/488) Juga disebutkan oleh Al-Munawi t dalam Faidhul Qadir (6/499), Allah Subhaanahu wata’aala telah menjadikan sultan (penguasa) sebagai penolong makhluk-Nya. Oleh karena itu, jagalah kedudukannya dari celaan dan hinaan. Jadikanlah penghormatan kepadanya sebagai sebab terbentangnya naungan Allah l dan bersinambungannya pertolongan (Allah Subhaanahu wata’aala) terhadap makhluk-Nya. Sungguh, kalangan As-Salaf telah memperingatkan agar tidak mendoakan kejelekan terhadap penguasa, karena bertambahnya kejelekan (pada penguasa) akan menambah bencana (bala) terhadap kaum muslimin.
·         Badruddin ibnu Jamaah telah menukil dari Ath-Thurthusyi sehubungan dengan firman Allah Subhaanahu wata’aala:“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (Al-Baqarah: 251) Maknanya, seandainya Allah Subhaanahu wata’aala tidak menegakkan kedudukan penguasa di muka bumi, niscaya yang lemah akan ditindas yang kuat, yang dizalimi akan diadili oleh yang menzaliminya, dan sebagian manusia akan menguasai sebagian yang lain secara zalim. Kemudian Allah Subhaanahu wata’aala menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya tegaknya penguasa atas mereka dengan firman-Nya: “Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251)
·         Umat telah bersepakat, sesungguhnya manusia tidaklah akan menegakkan urusan agama dan dunia mereka kecuali dengan adanya keimamahan (pemerintahan). Kalaulah Allah Subhaanahu wata’aala tidak (menegakkan) kepemimpinan (pemerintahan) niscaya agama akan telantar dan urusan dunia pun rusak. Pengertian ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Faqih Abu Abdillah Al-Qal’i Asy-Syafi’i dalam kitab Tahdzibu Ar-Riyasah (hlm. 94—95). Beliau t menyebutkan bahwa mengatur urusan agama dan dunia yang dimaksud ini tidak akan membawa hasil (tidak akan bisa terlaksana) kecuali dengan keberadaan imam (penguasa)
·         Sesungguhnya imamul a’zham adalah orang yang mendapat pahala yang paling utama jika dia bersikap adil. Disebutkan oleh Al-Izz bin Abdis Salam t dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam (1/104): Pahala imamul a’zham lebih utama daripada pahala seorang mufti dan hakim (qadhi), karena kemaslahatan yang dihasilkannya dan kerusakan yang dicegahnya lebih menyeluruh. Karena, keberadaan mereka akan memberikan kebaikan secara total dan mencegah setiap kerusakan yang menyeluruh. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radiallohu anhu, dari Nabi shallallohu ‘alahi wasallam, beliau shallallohu ‘alahi wasallam bersabda: “Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah ada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
·         Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pemerintahan termasuk ketaatan yang paling utama. Sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya pemerintahan termasuk kewajiban agama yang paling agung.

III.             Simpulan
Jabatan pemimpin merupakan sebuah amanat bukan kekuasaan, adapun kekuasaan di sini adalah untuk menjalankan amar makruf nahi munkar, kekuaaan untuk menjalankan administrasi negara dan untuk menjalankan tugas-tugas pokok ajaran agama. Seorang pemimpin dipilih berdasarkan kualitas dan kapabilitas, baik secara vertikal maupun horisontal, sehingga seorang pemimpin dapat melaksanakan tugas-tugasnya dan kewajibannya sesuai dengan yang digariskan oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala negara adalah haruslah keputusan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Yang mana seorang pemimpin haruslah jujur, adil, amanah dan tanggung jawab.
Referensi
·         Musa, Yusuf M. 1990.  Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
·         Iqbal M & Ali Fattah. 2002. Negara Ideal Menurut Islam, Kajian Teori Khilafah dalam Sistem Pemerintahan Modern. Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia
·         Kamal al-din:253/3 : 1/282, Ta’wil al-Ayah al-Dzahirah:141; Diriwayatkan juga dalam Yanabi’ al-Mawaddah karya Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi, 1416 H, juz 3, pp. 398

ASAS FILOSOFIS POLITIK ISLAM

I.                   Pendahuluan
Politik dalam Islam menjurus kegiatan ummah kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syariat bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang mempunyai sahsiah untuk menerajui dan melaksanakan undang-undang. Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multiinterpretatif. Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara pas. Politik yang adil bagi setiap umat dimaksudkan sebagai pengaturan urusan negara dalam menerapkan sistem dan peraturan yang menjamin keamanan bagi individu dan golongan serta untuk merealisasikan kemaslahatan Islam. Dasar-dasar Islam dijadikan acuan sistem keadilan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia disetiap zaman dan tempat. Hal itu merupakan bukti dari Al-Quran dan Al-Hadis, yang menjadi dasar dan sumber utama Islam, meskipun Al-Quran tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci, tetapi menetapkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah kulliyah tentang sistem pengaturan urusan umat dalam tatanegara Islam atau pemerintahan.
II.                Isi
II.1. Sumber Ajaran politik Islam
Filsafat politik Islam berakar dari sumber Islam tentunya , yaitu Al-Qur'an dan Sunnah , serta kata-kata dan praktek Muhammad SAW. Namun, dalam pemikiran Barat, umumnya menganggap bahwa itu adalah wilayah tertentu yang khas hanya untuk para filsuf besar Islam seperti Al-Kindi (Alkindus), al-Farabi (Abunaser), Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Bajjah (Avempace ), Ibnu Rusyd (Averroes), dan Ibnu Khaldun. Konsepsi politik Islam seperti kudrah (daya), Sultan , ummat , cemaa (kewajiban) dan bahkan "inti" istilah Al Qur'an, yaitu ibadah , din (agama), rab dan ilah merupakan dasar analisis. Oleh karena itu, tidak hanya ide-ide dari filsuf politik Islam tetapi juga banyak ahli hukum dan ulama yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran politik dan teori.
Mengenai landasan normatif politik Islam bisa berkaca kepada pelaku Sejarah politik/politikus masa lampau yang tertuang dalam kisah-kisah Al-Qur’an. Misalnya: Pemberian kerajaan yang besar kepada keluarga Ibrahim, pengangkatan Thalut sebagi raja, pemberian hikmah dan kerajaan kepada Daud, anugerah kerajaan kepada Dzulqarnain dan memperoleh jalan untuk mencapai segala sesuatu, ratu Balqis sebagai raja yang adil dan egaliter, anugerah berupa kepemimpinan orang-orang mesir yang tertindasJuga ada contoh perilaku politik yang tercela. Misalnya Celaan kepada raja yang dzalim, Fir’aun seorang pemimpin yang tiran dan memecah belah umat. Dengan demikian teks (al-Qur’an dan hadith) dalam memberikan petujuk dan landasan berpolitik tidak hanya sebatas pada sedeteran teori-teori, tetapi juga memberikan gambaran masa lalu sebagi ibrah berupa sejarah yang otentisitas dan kevaliditasannya laraibafiih (tidak diragukan sama sekali). Sistem politik Islam bertujuan untuk membangunkan sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melaksanakan seluruh hukum syariat Islam. Tujuan utamanya ialah menegakkan sebuah negara Islam atau Darul Islam.  Dengan adanya pemerintahan yang mendukung syariat, maka akan tertegaklah  Ad-Din dan berterusanlah segala urusan manusia menurut tuntutan-tuntutan Ad-Din tersebut.
II.2. Dasar-dasar politik Islam
1.      Hakimiyyah Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah. Hakimiyyah Ilahiyyah membawa pengertian-pengertian berikut:
v  Bahawasanya Allah Pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat IlahiyagNya Yang Maha Esa
v  Bahawasanya hak untuk menghakimi dan meng adili tidak dimiliki oleh sesiap kecuali Allah
v  Bahawasanya hanya Allah sahajalah yang memiliki hak mengeluarkan hukum sebab Dialah satu-satuNya Pencipta
v  Bahawasanya hanya Allah sahaja yang memiliki hak mengeluarkan peraturan-peraturan sebab Dialah satu-satuNya Pemilik
v  Bahawasanya hukum Allah adalah suatu yang benar sebab hanya Dia sahaja yang Mengetahui hakikat segala sesuatu dan di tanganNyalah sahaja penentuan hidayah dan penentuan jalan yang selamat dan lurus.

2.      Risalah
Risalah bererti bahawa kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah suatu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah dalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Para rasul meyampaikan, mentafsir dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan.
Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah dan larangan Rasulullah s.a.w. Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah-oerintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka. Firman Allah:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr: 7)
3.      Khilafah
Khilafah artinya perwakilan. Kedudukan manusia di atas muka bumi ini adalah sebagai wakil Allah. Oleh itu, dengan kekuasaan yang telah diamanahkan ini, maka manusia hendaklah melaksanakan undang-undang Allah dalam batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik tetapi hanyalah khalifah atau  wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenar. Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama mana ia benar-benar mengikuti hukum-hukum Allah. Ia menuntun agar tugas khalifah dipegang oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat berikut:
v  Terdiri daripada orang-orang yang benar-benar boleh menerima dan mendukung prinsip=prinsip tanggngjawab yang terangkum dalam pengertian kkhilafah
v  Tidak terdiri daripada orang-orang zalim, fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak melanggar batas-batas yang ditetapkan olehNya
v  Terdiri daripada orang-orang yang berilmu, berakal sihat, memiliki kecerdasan, kearifan serta kemampuan intelek dan fizikal
v  Terdiri daripada orang-orang yang amanah sehingga dapt dipikulkan tanggungjawab kepada mereka dengan yakin  dan tanpa keraguan

III.             Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya sistem politik Islam tidak lain adalah untuk membangun sebuah sistem pemerintah dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melakasanakan seluruh hukum syari’at Islam. Sistem politik Islam merupakan sistem politik yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau penafsiran seseorang terhadap al-Quran berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks persoalan masyarakat para pemikir politik. Hal tersebut dengan dapat dijumpainya pemikiran politik yang telah muncul sejak zaman Rasulullah saw. dan kemudian dikembangkan hingga masa sekarang tentang proses pembentukan negara, unsur-unsur dan sendi-sendi negara, eksistensi lembaga pemerintahan, pengangkatan kepala negara, syarat-syarat menjadi kepala negara, tujuan dan tugas pemerintahan, pemberhentian kepala negara, sumber kekuasaan dan bentuk pemerintahan.
Referensi
Black,Antony. 2001. pemikiran Politik Islam. Jakarta: Serambi
Rais, Dhiauddin. 2001.Teori Politik Islam. Gema Insani Press: Jakarta

PENGARUH HINDUISME TERHADAP NEGARA

Nama                          : Kiki Rizky Laila Winarto
Nim                             : 1001132364
Mata Kuliah               : Pemikiran Politik Timur
Kelas                          : B
I.                   Pendahluan
Kata ‘Hindu’ semula diberikan oleh orang Persia terhadap wilayah di lembah sungai shindu. Kedatangan orang Yunani berikutnya, menyebut Hindu dengan Indoi, dan oarang-orang Barat mengatakan India. Penduduk setempat menyebut keyakinan mereka sanatana Dharma, yang berarti dharma yang kekal, abadi, tanpa awal dan akhir (anadi ananta).
Seperti yang telah dibahas sebelumnya dalam Hinduisme terdapat ajaran Catur Warna yang merupakan pembagian tugas dalam masyarakat yang terdiri dari empat bidang yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra yang dalam pelaksanaannya Catur Warna ini diimplementasikan sebagai Kasta dimana pengaruh dari adanya pengkastaan ini menyebabkan masyarakat terbelah menjadi dua, antara kelompok yang menindas yaitu yang diwakili oleh raja-raja dan antek-anteknya, dan kelompok yang ditindas yang merupakan rakyat jelata.
Namun dalam ajaran Hindu yang sebenarnya Catur Warna ini sejatinya adalah empat warna atau fungsi yang melekat pada diri seseorang dan mesti menjalankan keempatnya dengan sebaik-baiknya. Jadi, pengkastaan merupakan pemngimplementasian yang salah.

II.                Isi
Siwa atau Kekuasaan merupakan dewa paling kuat dari panteon Hindu dan salah satu ketuhanan-ketuhanan dalam Trinitas Hindu. Siwa ini dikenal dengan banyak nama antara lain Mahadewa, Mahayogi, Pashupati, Nataraja, Bhairava, Vishwanath, Bhava, dan Bhole Nath. Dewa Siwa dikenal sebagai dewa yang paling kompleks serta paling menarik diantara dewa-dewa Hindu lainnya. Hindu menyadari hal ini dengan menempatkan kuil bagi Dewa Siwa di kuil terpisah dari orang-orang dan dewa-dewa lainnya.
Konsep Kekuasaan
Di Indonesia, sebelum masuknya Hinduisme, belum mengenal konsep pengkastaan. Jika demikian, lalu mengapa konsep pengkastaan ini bisa diterima oleh masyarakat Indonesia ketika itu? Sesuatu hal yang baru, yang berusaha masuk untuk menggantikan posisi dari sesuatu yang lama, tentunya tidak akan langsung diterima begitu saja. Pada waktu itu, sistem baru tersebut berusaha dimasukkan ke dalam masyarakat lewat jalan pemaksaan.
Pertentangan antara sistem lama (dengan prinsipnya bahwa setiap orang untuk setiap orang dan masyarakatnya) tentunya berbenturan dengan sistem baru (yang menempatkan setiap orang dalam kotak-kotak tertentu dalam masyarakat berdasarkan derajatnya; pengkastaan) akhirnya berpuncak pada peperangan yang dimenangkan oleh sistem baru tersebut sebab sistem Hindu adalah sebuah agama yang sudah mapan. Akibatnya, sistem lama yang mengalami kekalahan kemudian menyingkir ke pedalaman.
Kemenangan sistem baru inilah yang kemudian menandai dimulainya babak baru dalam sejarah masyarakat Indonesia, di mana orang melakukan kerja bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk diserahkan pada kelas yang berkuasa: raja. Sementara, rakyat diwajibkan patuh kepada raja, karena raja adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Rakyat dipaksa harus mengarahkan kesetiaannya kepada lapisan atas, tidak lagi kepada keselamatan masyarakat seperti pada sistem-sosial terdahulu. Lapisan atas hidup mewah di atas punggung rakyat yang semakin lama semakin kurus oleh penindasan dan pemerasan. Yang baik dan yang banyak diperuntukkan buat sang raja. Kedua lapisan ini berbeda sebagai bumi dan langit. Ada sekelompok orang yang dirantai oleh penindasan, sementara ada sekelompok kecil lain yang menikmati hasil dari penindasan.

a.      Masa Hindu-Siwa Kalah Pengaruh dengan Hindu-Wisnu
Terjadi perubahan radikal dalam konsep ontologi. Pada masa ini, muncul konsep manusia yang dijadikan dewa.
Sebetulnya, konsep ini untuk menguatkan legitimasi raja pada rakyatnya. Sepertinya, feodalisme yang berkembang di Eropa, bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia, juga berkembang di Indonesia. Jadi Raja sangat memegang kuasa atas rakyatnya. Di sinilah agama Hindu digunakan untuk menaikkan gengsi para penguasa di hadapan rakyatnya. Sampai saat ini, konsep tersebut rupanya masih dipakai.

b.      Masa Erlangga Berkuasa
Ketika Erlangga mulai berkuasa, agama Hindu juga mengalami perubahan. Kasta Wai’sya (kasta pedagang) dihilangkan. Pada masa ini, kaum pedagang dianggap sebagai kasta yang rendah sehingga dihilangkan dari Catur Warna, dan yang diakui hanya Triwangsa. Penghilangan kasta Wai’sya inilah yang menyebabkan agama Hindu di Indonesia tidak bisa berperan seperti halnya agama Hindu di India, yang bisa memacu perkembangan tenaga produktif.
Hinduisme di Indoensia tidak berhasil menghasilkan golongan menengah yang kuat. Sedangkan di India, Hinduisme telah memacu tumbuhnya kasta pedagang yang mampu melakukan perdagangan-perdagangan internasional.

Di dunia Timur tepatnya di India, dalam arthasastra yang ditulis kira-kira 321-300 SM oleh Kautilya, Perdana Menteri kerajaan Chandragupta Maurya juga telah mengemukakan pemikirannya tentang negara. Dalam bukunya itu, ia membentangkan teori tentang “ikan besar memakan ikan kecil” (fish law).
Teori yang dikemukakan Kautilya ini dapat mewakili pemikiran Hindu tentang negara. Berdasarkan teori yang dikemukakan Kautilya, dapat dipahami bahwa alasan adanya negara adalah untuk melindungi kelompok yang lemah dari ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara diperlukan untuk mencegah terjadinya hukum rimba, dimana kelompok yang kuat menindas kelompok yang lemah. Dalam konteks ini pemikiran Hindu tentang negara bersifat “struktur-fungsional”. Artinya, eksistensi negara harus mampu memberikan perlindungan atas seluruh kehidupan sosial (ekonomi, politik, budaya dll) warga negaranya, terlepas dari latar belakang masyarakat yang ikut bergabung ke dalam negara tersebut.



III.             Simpulan
Dari penjelasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya ajaran hindu memiliki pengaruh yang cukup besar dalam suatu negara, dalam hal ini pemerintahan. Tentu saja maksudnya adalah negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Hal ini sangat berhubungan dengan ajaran Catur Warna yang selama ini diimplementasikan sebagai Kasta tidak perduli walaupun pengkastaan bukanlah merupakan makna yang sesungguhnya dari Catur Warna. Sehingga kasta yang tinggi berkuasa atas kasta rendahan.
Raja sangat memegang kekuasaan atas rakyat. Rakyat diwajibkan untuk patuh pada apapun perintah Raja karena Raja merupakan wakil Tuhan di bumi. Ini berakibat pemaksaan pada rakyat untuk bekerja tidak lagi untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk kepentingan para penguasa. Jadi disini penguasa ialah merupakan pihak penindas, dan rakyat jelata memegang peran sebagai pihak yang tertindas.