I.
Pendahuluan
Asas negara
Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah Saw. telah membangun kekuasaan
berdasarkan asas tersebut. Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang
berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban
dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad.
Negara Islam inilah satu-satunya thariqah (metode) yang dijadikan oleh
Islam untuk menerapkan sistem dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam
kehidupan dan masyarakat. Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam
dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi
serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai
upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus
tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.
Dalam struktur
negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi pemahaman
Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya dengan
demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik. Karena
semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi
bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam.
II.
Isi
II.1. Kedudukan Ulil Amri
Dalam Islam arti ulil
amri atau pemerintah itu banyak tafsirannya. Diantaranya adalah:
a. Ulil amri diartikan dengan para ulama yang amilin, ulama
yang kewibawaannya dihormati orang banyak.
b. Ulil amri yang diartikan dengan ahlul halli wal 'aqdi.
c. Ulil amri yang diartikan dengan orang-orang yang berkuasa
didalam sebuah negeri atau sebuah negara.
d. Ulil amri yang dimaksudkan dengan pemimpin-pemimpin jemaah
Islam, dan lain-lain.
Ulil amri (pemimpin/penguasa) memiliki kedudukan
yang tinggi. Mereka menempati martabat yang luhur dan mulia. Syariat
menganugerahi mereka berkaitan dengan kekuasaan dan tugas mereka yang memiliki
keluhuran seperti yang tertulis dalam surat An-Nisa (4) : 59 ”Hai orang-orang
yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Allah
menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah
komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara
orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan
kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul.
Selain, tentunya terkait tanggung jawabnya yang
demikian besar. Karenanya, mereka diberi gelar kedudukan dalam keimamahan yang
menggantikan nubuwah dalam menjaga agama dan politik dalam urusan
dunia.Sesungguhnya, seseorang tidak akan mampu mengendalikan kekuasaan kecuali
dengan kekuatan dan keteguhan kepemimpinan. Jika syariat tidak memberikan
padanya apa yang terkait tabiat amal, yaitu individu yang menghormati dan
mengagungkannya, sungguh akan menjadi batu ujian bagi manusia. Apalagi jika
mereka tidak mampu mengendalikannya. Akibatnya akan timbul bencana dan
kekacauan di masyarakat umum, lenyaplah berbagai kemaslahatan, timbulnya
kerusakan dunia dan telantarnya kehidupan beragama. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan terkait mulianya kedudukan penguasa, di antaranya:
·
Syariat mengabarkan
bahwa barangsiapa memuliakan penguasa, Allah Subhaanahu wata’aala, akan
memuliakannya. Barangsiapa menghinakan/merendahkan penguasa, Allah Subhaanahu
wata’aala akan merendahkan/menghinakannya. Maknanya, sesungguhnya siapa saja
yang lancang terhadap penguasa maka dia telah menghinakan penguasa, dalam
bentuk perbuatan atau perkataan (pernyataan). Dia telah melampaui hukum-hukum
Allah Subhaanahu wata’aala, melanggar larangan-larangan yang jelek. Dia akan
mendapatkan sanksi atas segala perbuatannya tersebut. Allah Subhaanahu
wata’aala, akan membalas kehinaan dengan kehinaan. Bahkan, kehinaan yang Allah
Subhaanahu wata’aala timpakan lebih besar dan lebih keras. Pada sebagian lafadz
dari hadits Abu Bakrah z disebutkan: “Barangsiapa memuliakan penguasa
Allah, Allah akan memuliakannya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/492)
·
Sesungguhnya penguasa
adalah zhillullah (naungan Allah Subhaanahu wata’aala) di muka bumi. Hadits
yang meriwayatkan tentang hal ini banyak dan diriwayatkan dari banyak perawi
pula. Yang paling shahih adalah yang diriwayatkan Abu Bakrah radiallohu anhu
dan lafadz tersebut sebagaimana dalam As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim
rahimahulloh: “Penguasa itu naungan Allah Subhaanahu wata’aala di muka bumi.
Barangsiapa memuliakannya, Allah Subhaanahu wata’aala pun memuliakannya.
Barangsiapa menghinakannya, Allah l akan menghinakannya pula.” Pernyataan
‘penguasa itu naungan Allah Subhaanahu wata’aala’ mengandung pengertian bahwa
dengannya Allah Subhaanahu wata’aala akan melindungi manusia dari gangguan,
sebagaimana naungan adalah pelindung dari gangguan terik matahari. Penyandaran
kepada Allah Subhaanahu wata’aala pada kata zhillullah atau pada sebagian
lafadz dengan menyebutkan sulthanullah), merupakan bentuk maklumat kepada
manusia bahwasanya naungan tersebut tidaklah seperti seluruh naungan yang lain.
Itu menunjukkan ketinggian dan kemuliaan naungan tersebut, sekaligus
menunjukkan bahwa naungan tersebut memiliki faedah dan manfaat yang besar.
Penyandaran (idhafah) kepada Allah Subhaanahu wata’aala sesungguhnya
menunjukkan idhafah tasyrif (penyandaran pemuliaan) sebagaimana pada kata
Baitullah, Ka’batullah atau yang lainnya. Ini mengandung isyarat akan
ketinggian kedudukan penguasa dan kemuliaan keberadaannya.
·
Syariat melarang
seseorang mencela penguasa dan mencegahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut.
Anas bin Malik radiallohu anhu berkata: “Kalangan tua dari para sahabat
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, melarang kami (mencela penguasa).
Mereka berkata, ‘Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah
melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian
kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat
dekat’.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, 2/488) Juga disebutkan oleh Al-Munawi t
dalam Faidhul Qadir (6/499), Allah Subhaanahu wata’aala telah menjadikan
sultan (penguasa) sebagai penolong makhluk-Nya. Oleh karena itu, jagalah
kedudukannya dari celaan dan hinaan. Jadikanlah penghormatan kepadanya sebagai
sebab terbentangnya naungan Allah l dan bersinambungannya pertolongan (Allah
Subhaanahu wata’aala) terhadap makhluk-Nya. Sungguh, kalangan As-Salaf telah
memperingatkan agar tidak mendoakan kejelekan terhadap penguasa, karena
bertambahnya kejelekan (pada penguasa) akan menambah bencana (bala) terhadap
kaum muslimin.
·
Badruddin ibnu Jamaah
telah menukil dari Ath-Thurthusyi sehubungan dengan firman Allah Subhaanahu
wata’aala:“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (Al-Baqarah: 251) Maknanya,
seandainya Allah Subhaanahu wata’aala tidak menegakkan kedudukan penguasa di
muka bumi, niscaya yang lemah akan ditindas yang kuat, yang dizalimi akan
diadili oleh yang menzaliminya, dan sebagian manusia akan menguasai sebagian
yang lain secara zalim. Kemudian Allah Subhaanahu wata’aala menganugerahkan
kepada hamba-hamba-Nya tegaknya penguasa atas mereka dengan firman-Nya: “Tetapi
Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251)
·
Umat telah bersepakat,
sesungguhnya manusia tidaklah akan menegakkan urusan agama dan dunia mereka
kecuali dengan adanya keimamahan (pemerintahan). Kalaulah Allah Subhaanahu
wata’aala tidak (menegakkan) kepemimpinan (pemerintahan) niscaya agama akan
telantar dan urusan dunia pun rusak. Pengertian ini sebagaimana disebutkan
oleh Al-Faqih Abu Abdillah Al-Qal’i Asy-Syafi’i dalam kitab Tahdzibu Ar-Riyasah
(hlm. 94—95). Beliau t menyebutkan bahwa mengatur urusan agama dan dunia yang
dimaksud ini tidak akan membawa hasil (tidak akan bisa terlaksana) kecuali
dengan keberadaan imam (penguasa)
·
Sesungguhnya imamul
a’zham adalah orang yang mendapat pahala yang paling utama jika dia bersikap
adil. Disebutkan oleh Al-Izz bin Abdis Salam t dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam
fi Mashalih Al-Anam (1/104): Pahala imamul a’zham lebih utama daripada pahala
seorang mufti dan hakim (qadhi), karena kemaslahatan yang dihasilkannya dan
kerusakan yang dicegahnya lebih menyeluruh. Karena, keberadaan mereka akan
memberikan kebaikan secara total dan mencegah setiap kerusakan yang menyeluruh.
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radiallohu anhu, dari Nabi
shallallohu ‘alahi wasallam, beliau shallallohu ‘alahi wasallam bersabda:
“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah ada hari yang tidak ada
naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
·
Kaum muslimin telah
bersepakat bahwa pemerintahan termasuk ketaatan yang paling utama. Sebagaimana
dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya pemerintahan termasuk
kewajiban agama yang paling agung.
III.
Simpulan
Jabatan
pemimpin merupakan sebuah amanat bukan kekuasaan, adapun kekuasaan di sini
adalah untuk menjalankan amar makruf nahi munkar, kekuaaan untuk menjalankan
administrasi negara dan untuk menjalankan tugas-tugas pokok ajaran agama.
Seorang pemimpin dipilih berdasarkan kualitas dan kapabilitas, baik secara
vertikal maupun horisontal, sehingga seorang pemimpin dapat melaksanakan
tugas-tugasnya dan kewajibannya sesuai dengan yang digariskan oleh
undang-undang dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Setiap keputusan dan
kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala negara adalah haruslah keputusan untuk
kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Yang mana
seorang pemimpin haruslah jujur, adil, amanah dan tanggung jawab.
Referensi
·
Musa,
Yusuf M. 1990. Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
·
Iqbal
M & Ali Fattah. 2002. Negara Ideal
Menurut Islam, Kajian Teori Khilafah dalam Sistem Pemerintahan Modern.
Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia
·
Kamal al-din:253/3 : 1/282, Ta’wil
al-Ayah al-Dzahirah:141; Diriwayatkan juga dalam Yanabi’ al-Mawaddah
karya Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi, 1416 H, juz 3, pp. 398